Aceh
| Aceh | |||
|---|---|---|---|
| — Provinsi — | |||
![]() | |||
| |||
| Slogan: "Pancacita" (dari bahasa Sanskerta yang artiannya "Lima cita-cita") | |||
![]() | |||
| Negara | Indonesia | ||
| Hari jadi | 7 Desember 1959 | ||
| Dasar hukum | UU RI No. 24/1956 UU RI No. 44/1999 UU RI No. 18/2001 UU RI No. 11/2006 (Pemerintahan Aceh) | ||
| Ibu kota | Banda Aceh (dulu Koetaradja) | ||
| Koordinat | 1º 40' - 6º 30' LU 94º 40' - 98º 30' BT | ||
| Luas | |||
| • Total | 58.375.63 km2 (22,538.96 mil²) | ||
| Populasi (2010)[1] | |||
| • Total | 4,494,410 | ||
| • Kepadatan | Bad rounding here77/km2 (Bad rounding here200/sq mi) | ||
| Demografi | |||
| • Suku bangsa | Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%)[2] | ||
| • Agama | Islam (98,5%), Kristen (1.1%), lainnya (0.5%) | ||
| • Bahasa | Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, Nias dan Indonesia.[3][4] | ||
| Zona waktu | WIB | ||
| Kabupaten | 18[5] | ||
| Kota | 5[6] | ||
| Disktrik | 276[7] | ||
| Gampong/kelurahan | 6.455[8] | ||
| Lagu daerah | Bungong Jeumpa | ||
| Website | http://www.acehprov.go.id/ | ||
Aceh ( /ˈɑːtʃeɪ/; [ʔaˈtɕɛh]) adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penghuni provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Kedudukannya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Lautan Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan melahirkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal ratus tahun ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di daerah Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penangkalan keras terhadap kemudi orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Bila dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).[9] Persentase penghuni Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup berdasarkan syariah Islam.[10] Beda dengan biasanya provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang ditata tersendiri karena alasan sejarah.[11]
Aceh memiliki sumber daya dunia yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas dunia. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas dunia Aceh adalah yang terbesar di dunia.[9] Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) diwujudkan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Lautan Hindia 2004. Sesudah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut.[12] Bencana ini juga mendesak terciptanya akad damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Pergerakan Aceh Merdeka (GAM).
Daftar konten
Sejarah
Asal nama
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1959), kesudahan Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroë Aceh Darussalam (2001–2009), dan terakhir Aceh (2009–sekarang).[13] Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
Jaman prasejarah
Aceh telah dihuni manusia sejak zaman Mesolitikum, hal ini dibuktikan dengan keberadaan situs Bukit Kerang yang diklaim sebagai pusaka zaman tersebut di kabupaten Aceh Tamiang. Selain itu pada situs lain yang dikata dengan Situs Gampong Pangkalan juga telah dilakukan ekskavasi serta berhasil ditemukan artefak pusaka dari zaman Mesolitikum berupa kapak Sumatralith, fragmen gigi manusia, tulang badak, dan beberapa alat sederhana lainnya. Selain di kabupaten Aceh Tamiang, pusaka kehidupan prasejarah di Aceh juga ditemukan di dataran tinggi Gayo tepatnya di Ceruk Mendale dan Ceruk Ujung Karang yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar. Penemuan situs prasejarah ini menyatakan bukti berlakunya tempat tinggal manusia prasejarah yang telah berlangsung disini pada sekitar 7.400 sampai 5.000 tahun yang lalu.
Jaman kerajaan
Jaman kerajaan Hindu-Buddha

Sebagaimana daerah lain di kepulauan Nusantara, Aceh juga pernah menemui masa mengembangnya agama Hindu dan Budha yang datang dari daratan benua Asia. Pada masa itu di Aceh telah diwarnai dengan berlakunya beberapa kerajaan kecil yang berdasarkan agama tersebut misalnya Indrapuri, Indra Patra dan Indra Purwa semuanya di Aceh Besar.
Masuknya Islam

Sedang terjadi silang pendapat terkait persoalan dari sejak kapan Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berarah sudah dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan[14] sebagai khalifah ketiga sesudah kerasulan Muhammad SAW.
Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam yang sudah mengembang matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 ratus tahun kesudahan[15].
Sebagian lagi, berlaku yang berarah bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan absen ingatan. Alasan yang dinyatakannya adalah pada masa tersebut; berlaku kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan demikian baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah secara terang-terangan[16].
Tetapi sedikitnya persoalan demikian bisa dijajaki dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Perlak yang diwujudkan pada 1 Muharram 225 Hijriyyah[17].
Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada ratus tahun ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemahirannya dalam mengembangkan pola dan sistem edukasi militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian pengetahuan pengetahuan, sampai kemahirannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Aceh Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Dunia (Sulthan Aceh ke 19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau sampai Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada ratus tahun ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal ratus tahun ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak ratus tahun ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada kesudahan ratus tahun ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak berlaku. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menempati dan menyuruh melahirkan Aceh, probabilitas untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di daerah tersebut.
Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, dimulai dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah pasukan sebanyak 3.198, termasuk 168 perwira KNIL[18].
Sesudah melahirkan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Bahkan, pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen mesti menemui 12 tembakan meriam dari pasukan Aceh[19].
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang berbakat yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan keyakinan dari jumlah pemimpin Aceh, kesudahan memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhir-akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 sesudah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhir-akhirnya jatuh pada tahun 1904. Ketika itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya diduduki Belanda. Namun perlawanan sedang terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhir-akhirnya jepang masuk dan menukarkan peran belanda.
Perang Aceh adalah perang yang paling jumlah merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penindasan Nusantara.
Jaman penindasan
Susunannya nasionalisme

Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai menjadikan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai pergerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam pergerakan nasionalis Indonesia. Ketika Volksraad (parlemen) dibentuk bentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).
Ketika Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Sesudah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhir-akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan penduduk umum. Masuknya Jepang ke Aceh membikin Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap adun dan hormat kepada penduduk dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati keyakinan dan budaya Aceh yang bernafaskan Islam. Penduduk pun tidak segan untuk membantu dan turut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika suasana sudah menjadi baik, pelecehan terhadap penduduk Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Penduduk Aceh yang beribadat Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat berhadapan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan penduduk Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipandu oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.
Pasca kemerdekaan Indonesia

Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Pergerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk menganggap berbeda Aceh dari Indonesia menempuh upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhir-akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga menyudahi konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.
Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bidang barat, selatan dan pedalaman untuk menganggap berbeda diri dari Aceh dan membina provinsi-provinsi baru.
Darul Islam / Tentara Islam Indonesia
Aceh yang semula bergabung dengan Indonesia dengan tanggungan Soekarno akan melahirkan syariat Islam, merasa kecewa karena syariat Islam tidak dijadikan sebagai dasar negara. Sehingga pada tanggal 13 Muharram 1372 H/21 September 1953 M, Teungku Muhammad Daud Beureu'eh atas nama penduduk Aceh mengumumkan bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang diwujudkan oleh Kartosoewirjo.[20]
Pergerakan Aceh Merdeka

Pasca Gempa dan Tsunami 2004, yaitu pada 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Pergerakan Aceh Merdeka sepakat menyudahi konflik di Aceh. Akad ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Martti Ahtisaari.
Politik dan pemerintahan
Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh ketika ini berlaku 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah berlakunya Pemerintahan Mukim di antara disktrik dan gampong.
Sistem Pemerintahan Indonesia

Sejak tahun 1999, Aceh telah menemui beberapa pemekaran wilayah sampai sekarang mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai berikut:
Perwakilan


Berdasarkan Pemilihan Umum Legislatif 2009, Provinsi Aceh mengirimkan 13 anggota DPR, dengan perincian: Partai Demokrat tujuh orang, PKS dan Partai Golkar masing-masing dua orang, dan PAN serta PPP masing-masing satu orang.[23] Selain itu, empat anggota DPD yang berasal dari Aceh adalah Tgk. Abdurrahman BTM., H.T. Bachrum Manyak, Dr. Ahmad F. Hamid, M.S., dan Ir. H.T. A. Khalid, M.M.[24]
Pada tingkat provinsi, DPRA dengan 69 kursi tersedia dikuasai oleh Partai Aceh (33 kursi)[23].
| Partai | Kursi | % |
|---|---|---|
| Partai Aceh | 33 | 47,8 |
| Partai Demokrat | 10 | 14,5 |
| Partai Golkar | 8 | 11,6 |
| PAN | 5 | 7,3 |
| PKS | 4 | 5,8 |
| PPP | 3 | 4,4 |
| Partai Daulat Aceh | 1 | 1,5 |
| PDI-P | 1 | 1,5 |
| PKPI | 1 | 1,5 |
| PBB | 1 | 1,5 |
| PKB | 1 | 1,5 |
| Partai Patriot | 1 | 1,5 |
| Total | 69 | 100,0 |
Sistem Pemerintahan Lokal Aceh
Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampông, mukim, nanggroë, sagoë dan keurajeun.
Demografi
Suku bangsa
Aceh memiliki 13 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah Suku Aceh yang mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Etnis kedua terbesar adalah Suku Gayo yang mendiami wilayah pegunungan tengah Aceh. Selain itu juga dijumpai suku-suku lainnya seperti, Aneuk Jamee di pesisir barat dan selatan, Singkil dan Pakpak di Subulussalam dan Singkil, Alas di Aceh Tenggara, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Tamiang.
Suku Devayan mendiami wilayah selatan Pulau Simeulue sedangkan Suku Sigulai dan Suku Lekon di utaranya. Suku Haloban dan Suku Nias terdapat di Pulau Jumlah
Hasil sensus penghuni tahun 2000 menampakkan hasil sebagai berikut: Aceh (50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%)[25]
Bahasa

Bahasa daerah yang paling jumlah dipakai di Aceh adalah Aceh yang dikatakan oleh etnis Aceh di sepanjang pesisir Aceh. Bahasa terbesar kedua adalah Gayo di dataran tinggi Gayo, Alas di dataran tinggi Alas, Aneuk Jamee di pesisir barat selatan, Singkil dan Pakpak di tanah Singkil, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Tamiang.
Di Simeulue bidang utara dijumpai Sigulai dan Lekon, sedangkan di selatannya dijumpai Devayan. Haloban dan Nias dijumpai di Pulau Jumlah.
Agama
Sebagian besar penghuni di Aceh beragama Islam. Dari ke 13 suku asli yang berlaku di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.
Agama lain yang dianut oleh penghuni di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian penduduk Tionghoa yang biasanya mempunyai suku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap beragama Konghucu.
Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi lainnya, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar penduduknya yang beragama Islam, berdasar UU No.18/2001. Kalangan intelektual Aceh sendiri sedang memperdebatkan apakah yang diberlakukan di Aceh sudah benar-benar syariat atau itu cuma karena alasan politis saja.[26] Alasan yang juga kesudahan disebutkan adalah suasana konkret ketika itu berkenaan dengan politik, polemik di kalangan jumhur ulama soal bisa tidaknya hukum Islam dibuat pasca kenabian selain persoalan dualisme saluran dalam Islam, dua saluran besar dalam tradisi tafsir hukum Islam.[27]
Edukasi


Dalam hal edukasi, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang berlaku tidak menampakkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Edukasi di Aceh dapat diucapkan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan dan penganaktirian dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan institusi edukasi lainnya menjadi korban. Pada Ujian Kesudahan Nasional 2005 berlaku ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Aceh juga memiliki sejumlah perguruan tinggi yaitu:
Negeri
- Universitas Syiah Kuala
- Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
- Universitas Malikussaleh
- Politeknik Negeri Lhokseumawe
- Politeknik Aceh
- STAIN Malikussaleh
- STAIN Zawiyah Cot Ketika
Swasta
- Universitas Abulyatama
- Universitas Almuslim
- Universitas Muhammadiyah Aceh
- Universitas Iskandar Muda
- Universitas Serambi Mekkah
- Universitas Jabal Ghafur
Seni dan Ingatan budi


Aceh merupakan daerah yang sangat kaya dengan seni ingatan budi galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh memiliki aneka seni ingatan budi yang khas seperti tari-tarian, dan ingatan budi lainnya seperti:
- Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
- Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Sastra
- Bustanussalatin
- Hikayat Prang Sabi
- Hikayat Malem Diwa
- Legenda Amat Rhah manyang
- Legenda Putroe Neng
- Legenda Magasang dan Magaseueng
Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat bertambah dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam klasifikasi dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti Sikin Panjang, Perisai Awe, Perisai Teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rumah Tradisional
Rumah tradisonal suku Aceh dikata Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bidang utama dan 1 bidang tambahan. Tiga bidang utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bidang tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Tarian


Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat jumlah dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.
Tarian Suku Aceh
- Tari Laweut
- Tari Likok Pulo
- Tari Pho
- Tari Ranup lam Puan
- Tari Rapa'i Geleng
- Tari Rateb Meuseukat
- Tari Ratoh Duek
- Tari Seudati
- Tari Tarek Pukat
Tarian Suku Gayo
- Tari Saman
- Tari Bines
- Tari Didong
- Tari Guel
- Tari Munalu
- Tari Turun Ku Aih Aunen
Tarian Suku Alas
Tarian Suku Melayu Tamiang
Makanan Khas

Aceh memiliki aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang diciptakan dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan untuk Aceh. Di Pidie Jaya terkenal dengan kue khas Meureudu yaitu adee. Di Aceh Utara lazim kita temukan kuliner khas lainnya yaitu martabak durian yang lezat. Kuliner Bireun yang paling terkenal adalah sate matang, yaitu sejenis masakan sate daging sapi atau kambing yang berasal dari kota Matang Geuleumpang Dua. Sementara kuliner khas Aceh yang sering ditemukan dijual diluar Provinsi Aceh adalah mie Aceh, sejenis mie kuning basah yang diracik dengan bumbu khas nan pedas.
Iklim
Geografi
Perekonomian
Sumber daya dunia
Perbankan
Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik Indonesia, yang diungkap di Banda Aceh (kelas III) dan Lhokseumawe (kelas IV). Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Di daerah-daerah tugas Bank Indonesia bertambah dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan.
Di bidang sistem pembayaran menjadikan sistem kliring dan BI-RTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar beroperasi dengan sehat dan menguntungkan.
Industri
Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya
- PT Arun: Kilang Pencairan Gas Dunia di Lhokseumawe
- PT Pupuk Iskandar Muda (PIM): Pabrik Pupuk Iskandar Muda di Lhokseumawe
- PT Aceh Asean Fertilizer (AAF): Pabrik Pupuk Asean di Lhokseumawe
- PT Kertas Kraft Aceh (KKA): Pabrik Kertas di Lhokseumawe
- PT Semen Andalas Indonesia-Lafarge (SAI): Semen Andalas di Aceh Besar
- ExxonMobil: Kilang Gas Dunia di Lhokseumawe
Pertambangan
- Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah
- Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat,
- Batu gamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan
Pariwisata

- Masjid Raya Baiturrahman
- Museum Aceh
- Taman Putroe Phang
- Kuburan Kerkhoff
- Danau Laut Tawar
- Danau Aneuk Laot
- Pantai Lhok Nga
- Museum Tsunami Aceh
- Guha Tujoh di Laweueng
Pra-tsunami 2004
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 prosen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, adun di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan mempersiapkan bertambah dari 100.000 lapangan kerja, 87 prosen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 prosen adalah nelayan kecil mempergunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang bisa melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar biasanya beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar mempergunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain sebagainya.
Infrastruktur penunjang industri ini mencakup satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat edukasi dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium coba mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
Pasca-tsunami 2004

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 prosen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.

Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok sampai 60 prosen. Babak pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu bertambah lama (sekitar 10 tahun), karena jumlahnya nelayan yang hilang atau padam selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi sampai sektor ini menjadi baik total dan kembali ke suasana pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.
Lainnya
Pahlawan

Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (empat jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkoff Peucut yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).
Pahlawan Perempuan
Pahlawan Pria
- Sultan Iskandar Muda
- Teungku Chik Di Tiro
- Teuku Umar
- Panglima Polem
- Teuku Nyak Arif
- Mr. Teuku Muhammad Hasan[28]
Tokoh asal Aceh
- Lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh.
- Hamzah Fansuri
- Nuruddin ar-Raniri
- Syiah Kuala
- Syamsuddin al-Sumatrani
- Tun Sri Lanang
- Teungku Chik Pante Kulu
- Ismail al-Asyi
- Mohamad Kasim Arifin
- Teungku Hasan Muhammad di Tiro
- P. Ramlee
- Teungku Ahmad Dewi
- Teungku Daud Beureu'eh
Referensi
- ^ Sensus Penghuni 2010
- ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 2003. ISBN 9812302123.
- ^ http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=6474:aceh-gelar-kongres-bahasa-daerah&catid=13:aceh&Itemid=26
- ^ http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=3337
- ^ Jumlah kabupaten di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Jumlah kota di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Jumlah disktrik di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ Jumlah gampong/kelurahan di Aceh menurut "Aceh dalam Angka", 2010, Badan Pusat Statistik Aceh
- ^ a b How An Escape Artist Became Aceh's Governor, Time Magazine, Feb. 15, 2007
- ^ http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b2/Countries_with_Sharia_rule.png
- ^ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
- ^ United Nations. Economic and social survey of Asia and the Pacific 2005. 2005, page 172
- ^ Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kata Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Sekitar yang terkait Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa kata Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Penduduk Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di sekitar yang terkait Pemerintah Aceh, diganti dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu kepastian dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditetapkan oleh DPRA hasil Pemilu 2009. Lihat pula http://www.acehprov.go.id/
- ^ Shadiqin, Sehat Ihsan: Tasawuf Aceh, Bandar Publishing, Cet-II, 2009.
- ^ Azra, Azyumardi: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara, Jakarta, Prenata Media, 2006
- ^ Shadiqin, Sehat Ihsan (2009)
- ^ Ibid
- ^ Kawilarang, Harry: Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar Publishing, Banda Aceh-Cet. III, 2010
- ^ ibid
- ^ Al Chaidar. Pergerakan Aceh Merdeka
- ^ Luas Kabupaten dan Kota di Aceh
- ^ Sensus Penghuni Aceh 2010
- ^ a b Partai Aceh dan Demokrat Kuasai Kursi DPRA dan DPR. Media Indonesia. Edisi daring 4-5-2009. Diakses 4-5-2009.
- ^ Hasil perolehan suara DPD Provinsi NAD.
- ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 2003. ISBN 9812302123.
- ^ Ramli, Affan: Merajam Dalil Syariat, Bandar Publishing, Cet-1, 2010
- ^ ibid
- ^ "http://www.gemari.or.id/file/gemari71hal42.PDF".
Lihat pula
Pranala luar
- Situs resmi pemerintah provinsi
- Surat kabar Serambi Indonesia
- Media Islam Aceh
- Media online Aceh
- Aceh Institue
- Pergerakan Aceh Merdeka
| ||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||||||
| ||||||||||||||||||||||
kabupaten-aceh-nad.al-quran.co, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dan lain sebagainya.








